sumber gambar : https://islamic-center.or.id/wp-content/uploads/2016/04/goaceh_wgd9v_471.jpg
Kota Pontianak awalnya
didirikan dengan struktur masyarakat wilayah pada tahun 1771 yang dikenal
dengan berbagai tempat sejarah dan kaya akan budaya. Kota yang heterogen (aneka
ragam) ini membuat kita bangga,
namun sesuai dengan konsep rwa bhineda atau oposisi binary, di
balik kebanggaan atau berkah itu, kemajemukkan juga mengandung musibah yakni
kerawanan akan konflik.
Kota
Pontianak juga ditinggali oleh beragam suku bangsa, seperti Dayak, Arab, Bugis,
Batak, Sunda, dan Jawa tetapi lebih didominasi suku Melayu dan Tionghoa. Dengan
beragam suku dan budaya menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang
tinggal disini karena begitu banyak upacara adat yang bisa dinikmati. Selain
itu, banyak juga kuliner yang disuguhkan bagi pengunjung.
Berbicara
tentang suku dan budaya, hal ini juga tidak terlepas dengan agama yang dipeluk
oleh masyarakat yang tinggal di Kota Pontianak. Data yang diperoleh dari : https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pontianak, sebagian besar
penduduk beragama Islam (75,4%), sisanya memeluk agama Buddha (12%), Katolik (6,1%), Protestan (5%), Konghucu (1,3%), Hindu (0,1%), dan lainnya (0,1%). Mengacu
pada data tersebut ada kelompok yang disebut dengan kelompok minoritas,
biasanya kelompok minoritas ini rentan dengan diskriminasi atau perlakuan yang
tidak adil bahkan tidak diterima oleh suatu kalangan. Hal seperti ini sering
kita lihat dalam tayangan berbagai media, banyak faktor yang membuat mereka
tidak diterima.
Tapi, hal berbeda tampak jelas dari
keberagaman yang ditampilkan oleh penduduk di Kota Pontianak. Kaum mayoritas
yaitu Muslim dan kaum minoritas, Hindu mampu hidup berdampingan dengan segala
perbedaan yang ada. Kehidupan saling menghargai antara dua kaum berbeda ini
tampak dari rumah ibadah mereka yang dibangun secara berdampingan di Jalan
Adisucipto Pontianak. Yang kita tahu umat Muslim selalu mengadakan ibadah
selama lima waktu dengan menggunakan penggeras suara sedangkan umat Hindu
berdoa dalam keheningan. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah bagi kedua kaum
ini, mereka mampu hidup saling berdampingan dan saling mendukung.
Saya sempat bertemu
dengan salah satu jamaah Masjid Al-Amien sewaktu saya sedang berkunjung disana
untuk melihat keadaan sekitar. Ia menceritakan kerukunan mereka, bagaimana
mereka dapat hidup saling menghargai satu sama lain karena mereka mempunyai
kebiasaan dan budaya yang berbeda.
Perbedaan ini dijalani dengan rasa syukur
dan saling menghargai satu sama lain. Wujud nyata yang ditunjukkan adalah
mereka saling berbagi tempat parker, misalnya ketika hari Jumat atau hari besar
lainnya umat Muslim, para jamaah memarkirkan kendaraan mereka di area Pura
Giripati Mulawarman Pontianak begitu juga sebaliknya, ketika ada hari-hari
besar agama Hindu, mereka memarkirkan kendaraan di area Masjid Al-Amien.
Saya juga sempat bertemu dengan
pengelola Pura Giripati Mulawarman Pontianak, Pak Putu Bendeng. Menurutnya pura
yang berdiri sejak tahun 1965 tersebut merupakan Pura satu-satunya di Kota
Pontianak dan menjadi pusat berkumpulnya umat Hindu Kota Pontianak. Meski
letaknya bersebelahan dengan Masjid yang dibangun sesudah Pura itu berdiri,
mereka tidak merasa terganggu dengan kebiasaan umat Muslim disana.
Sejak mereka
berdiri berdampingan, kehidupan yang sangat akur masih terjaga sampai saat ini.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Karena tidak adanya perbandingan agama, tidak
ada yang mengatakan agamanya paling sempurna atau apapun tetapi hidup saling
menghargai dengan kepercayaan masing-masing. “Ketika individu belajar kitab agamanya hanya setengah, ia menjadi
fanatik yang luar biasa, ini lah yang membuat hubungan itu tidak baik.
Senjatinya tidak ada agama yang mengajarkan untuk membenci orang lain” itu
lah kunci yang dikatakan oleh Pak Putu Bendeng untuk selalu menjaga hubungan
baik mereka.
Selama ini, baik dari pihak Masjid
maupun Pura tidak pernah ada yang merasa keberatan dengan apapun yang dilakukan
oleh agama masing-masing, tetapi mereka saling mendukung dalam segala hal dan
terus menjaga hubungan baiknya. Keseharian yang terpancar juga lebih kepada
kedamaian dan ketentraman antar dua agama ini serta keharmonisan selalu jadi
madu bagi mereka. Saat ini pun kedua tempat ibadah ini sedang melakukan
pembangunan dan renovasi gedung masing-masing. Karena Masjid Al-Amien baru
berdiri sekitar tahun 1985 ini sedikit kesulitan mendapat bantuan dana
pembangunan sehinga pembangunannya dilakukan secara bertahap. Hal ini lah yang
membuat keduanya membangun dalam waktu yang bersamaan. Meski begitu tidak
pernah sekalipun ada perbedaan pendapat atau perselisihan diantara dua agama
berbeda ini.
Keharmonisan dua agama mayoritas dan minoritas di Kota Pontianak
ini mencerminkan masih banyak di Indonesia yang memiliki tolerasi tinggi, tidak
semua sama seperti yang selalu menghiasai layar kaca maupun media cetak serta
media online tersebut ada pada semua
wilayah. Karena biasanya ada disebagian tempat yang memiliki toleransi rendah
sehingga jika salah satu agama akan membangun tempat ibadah akan
dihalang-halangi atau yang sudah punya tempat ibadah merasa tidak aman hidupnya
karena selalu diusik oleh golongan tertentu.
Dari cerminan ini kita dapat
menjalankan kehidupan yang lebih bermakna. Kita lihat pelangi yang penuh warna,
tidak ada satupun dari mereka yang merasa paling baik tetapi dengan banyak
warna tersebut membuat mereka terlihat sangat indah. Begitupula dengan
kehidupan kita, Indonesia yang penuh warna akan sangat indah jika saling
mendukung dan bersatu. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu,
kita Indonesia. Kita ada untuk kehidupan yang damai dan sejahtera. Tidak saling
menghujat atau menjatuhkan tidak ada juga lararangan untuk memeluk salah satu
agama, kita punya Tuhan dan cara masing-masing untuk menyebarkan cinta kasih
dari Tuhan.
Oleh : Isa Oktaviani
0 Komentar