sumber gambar : http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2016/04/28/5721f04214064
Muhammad merupakan salah satu dari sekian tokoh agama, nabi dan,
pendiri agama yang memiliki karakter sebagai penggerak dan problem solver.
Kesuksesannya mendominasi Arabia dapat dinobatkan sebagai ahli strategi perang
yang cerdik, manusia loyalitas yang ma’sum, sekaligus kesetiannya
menghadapi penindasan dan penganiyaan. Pengikut-pengikutnya
(Sahabat) mengenalnya sebagai sosok yang al-amin, tabligh, amanah, fathonah,
dan shiddiq. Muhammad menjadi contoh ideal bagi kehidupan kaum muslim
dan menjadi example keberhasilan umat Islam menyebarkan ajarannya di
semenanjung Arabia. [1]
Hijrah Muhammad dari Mekkah menuju Madinah Juli-September di tahun 622.
Secara semantik istilah Madinah secara etimologis dalam bahasa Indonesia adalah
kota. Berasal dari kata da na ya, dana, yadinu yang berarti tunduk dan
patuh. Madinah mengandung arti dasar tempat kepatuhan atau sistem kepatuhan.
Pada akhirnya “Madinah” berarti hunian sekumpulan manusia yang tunduk dan patuh
kepada suatu aturan atau hukum. Hal ini yang dilakukan oleh nabi dalam
membangun Madinah[2] sebagai keputusan yang tepat.
Di negeri Madinah, menjadi seorang arbitran bagi seluruh komunitas, Baik itu golongan Muhajirin (imigran dengan Madinah (penolong), Kristen minoritas, Yahudi minoritas .Suyuthi Pulungan, mengurai warga multi-etnik yang menduduki kawasan Madinah. Pertama, ditinjau dari segi kebangsaan, warga di Madinah terdiri dari komposisi bangsa Arab dan bangsa Yahudi masing-masing terbagi dalam ke dalam beberapa suku (kabilah).
Di negeri Madinah, menjadi seorang arbitran bagi seluruh komunitas, Baik itu golongan Muhajirin (imigran dengan Madinah (penolong), Kristen minoritas, Yahudi minoritas .Suyuthi Pulungan, mengurai warga multi-etnik yang menduduki kawasan Madinah. Pertama, ditinjau dari segi kebangsaan, warga di Madinah terdiri dari komposisi bangsa Arab dan bangsa Yahudi masing-masing terbagi dalam ke dalam beberapa suku (kabilah).
Kedua, dilihat dari segi daerah, mereka
adalah orang-orang Arab Makkah, Arab, dan Yahudi Madinah. Ketiga, dilihat
dari struktur sosial dan kultur, mereka sama-sama menganut sistem kesukuan
namun soal adat istiadat berbeda. Keempat, dilihat dari segi ekonomi
kuat yang menguasai pertanian, perdagangan, dan keuangan adalah bangsa Yahudi,
sedangkan bangsa Arab adalah golongan kelas dua. Kelima, dilihat dari
segi agama dan keyakinan mereka terdiri dari atas penganut agama Yahudi,
Kristen, Islam, Munafiqun, dan paganisme (musyrik).[3]
Muhammad merumuskan sebuah piagam yang kemudian hari disebut Konstitusi Madinah, yang mengatur hak dan kewajiban seluruh waga negara dan
hubungan antara ummah (komunitas) dengan komunitas lainnya. Dalam
perjanjian Madinah merupakan komitmen bersama dan iman agama. Setiap kaum
diakui sebagai komunitas terpisah yang bersekutu dengan ummah namun dengan otonomi agama dan budaya. [4]
Salah satu konsekuensi
penting dari Pancasila seperti juga konstitusi Madinah, ialah adanya jaminan
kebebasan beragama.[5]
Konstitusi Madinah digadang-gadang sebagai salah satu hukum positif yang
digunakan dalam masyarakat Islam. Dalam salah satu pasal Konstitusi Madinah,
Kaum Yahudi dari Bani Auf adalah satu umat dengan mukminin. Kaum Yahudi berhak
unntuk menjalankan ibadah agama.
Konstitusi Madinah merupakan jawaban terhadap kondisi Madinah yang
multi-etnis atau plural. Muhammad sebagai
khatam al-anbiya menawarkan paradigma dan ideologi untuk fungsi agama dan
negara. Sehingga merangkul semua warga yang ada. Hampir mirip dengan revolusi
Prancis yang menuntut egalitarian dalam sebuah komunitas sosial. Muhammad
memilih untuk mereformasi melalui semangat Islam yang anti diskriminasi,
perdamaian, egalitarian, dan toleran.
Dalam mengarungi kehidupan di Madinah, Muhammad menggunakan
beberapa tipologi untuk menguraikan masyarakat dalam Islam. Pertama, dakwah
bahwa seruan dari suatu aliran pemikiran biasanya dimaksudkan unntuk membangun
suatu kesadaran tertentu atau tahap mitologi dan falsafah unntuk membangkitkan
dan menggerakkan masyarakat dengan ilmu yang bersumber dari Alloh. John L.
Eposito mengatakan dalam buku Islam Warna-Warni mengatakan bahwa orang Muhammad
sebagai reformis untuk mengajak bangsa Arab dari Jahiliyah menuju masa
pencerahan.
Kedua, Ideologi.
Salah satu karakteristik Islam adalah tidak adanya labelisasi yang bersifa ras,
kelas, profesi, aerah atau perseorangan utnuk memperkenalkan diri. label-label
yang digunakan untuk identitas sejati ke Islaman individu. Egalitarian dalam
Islam selalu diserukan oleh Alloh. Istilah taqwa sebagai penentu kedekatan umat
dengan Tuhannya merupakan pemberitahuan bahwa Alloh dapat dijangkau oleh
siapapun tanpa menggunakan tangan-tangan yang lain.
Ketiga, baik dan
buruk yang berkisar pada manusia merupakan
sifat alamiah dalam diri manusia. Banyak anggapan Muhammad sebagai orang
yang terjaga sebagaimana disampaikan oleh al-Quran dan Hadis. Sejarah
mengatakan bahwa sosok Muhammad sebagai orang baik maka dia akan dijaga oleh
Alloh. Sebaliknya jika dia jahat maka
Alloh masih menjaganya. Keempat, jatuh bangunnya masyarakat dikarenakan
ketidakadilan, kezaliman, perpecahan dan pelecehan prinsip amar ma’ruf nahi
munkar.[6]
Muhammad tidak membuat
struktur sosial menjadi Qabil (kelas berkuasa) dengan Habil (kelas tertindas).
Melainkan membuat pendatang dan kaum asli Madinah tetap nyaman tinggal di kota
tanpa ada perseteruan yang sudah disepakati melalui Madina Charter.
Nabi Muhammad disegani oleh orang-orang di sekitarnya karena
kemurahan hatinya. Setiap langkah dan
fatwa yang dihadapkan kepada masyarakat menyejukkan hati.
Kepemimpinannya mewujudkan manusia sebagai makhluk egalitarian yang ketakwaanya
hanya bisa di ukur oleh Alloh Swt.
Oleh : Fadli Rais
*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
[1]
John L. Eposito, Islam Warna Warni ; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus
(al-Shirat al-Mustaqim) terj. Arif Maftuhin (Jakarta, Paramadina: 2004),
hlm 17.
[2]
Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Ma’ruf al-Raghib al-asfhani, Al-mufradat
fi Gharib a;-Quran, (Lebanon: Beirut, Dar al-Ma’ifat, t.t), hlm. 175 Lihat
juga Muhammad dan Karl Marx; Tentang Masyarakat Tanpa Kelas,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2008), hlm. 105.
[3]
Muhammad dan Karl Marx; Tentang Masyarakat Tanpa Kelas, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar:2008), hlm. 108. Lihat juga Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Quran, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 57.
[4]
John L. Eposito, Islam Warna Warni ; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus
(al-Shirat al-Mustaqim) terj. Arif Maftuhin (Jakarta, Paramadina: 2004),
hlm 15.
[5]Budhy
Munawar Rahman (ed), Keislaman yang Hani (Jakarta: Paramadina,dkk
2013).hlm. 103.
[6]
Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, terj. Saifulloh Mahyudin, (Yogyakarta:
Ananda, 1982), hlm. 153. Lihat juga Lihat juga Muhammad dan Karl Marx; Tentang
Masyarakat Tanpa Kelas, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2008), hlm. 30.
0 Komentar