Ticker

6/recent/ticker-posts

Seandainya Kita Belajar Cinta Kasih ala Sunda Wiwitan

Salah satu pimpinan Sunda Wiwitan sedang melakukan ritual khas kepercayaan Sunda Wiwitan

“Punten” adalah satu ucapan kata maaf dalam bahasa sunda yang saya haturkan sebelum memulai tulisan ini. Manusia adalah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan, untuk itu saya meminta maaf terlebih dahulu kepada para pembaca karena kemungkinan tulisan yang saya buat ini tidak terlepas dari kesalahan pula. Karena kita dan termasuk saya sendiri kemungkinan manusia. Kenapa saya berujar bahwa kita dan diri saya sendiri kemungkinan manusia? Jawabannya adalah karena kita dan bahkan saya sendiri masih belum bisa menjadi manusia yang seutuhnya, yang dapat memanusiakan manusia.

Jika berbicara terkait kemanusiaan tentunya akan berkaiatan erat dengan interaksi sosial di lingkungan masyarakat. Sikap saling menghargai, menghormati, dan tolong menolong merupakan salah satu cara yang digunakan untuk kita dapat memanusiakan manusia. Bukan hanya manusia yang kita hormati dan hargai, namun alam yang sangat dekat hubungannya dan menyatu dengan kita juga perlu kita perlakukan demikian pula. Karena kita (manusia) merupakan bagian dari alam, saling membutuhkan dan sangat bergantung dengan satu sama lainnya. 

Nampaknya saya menemukan sosok ini dalam setiap diri para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka merupakan kumpulan sosok-sosok manusia yang memiliki rasa empati tinggi terhadap alam. Dalam tesis Didin Nurul Rasyidin yang berjudul Kebatinan Islam and The State, The Discolution of Madraism in 1964, menerangkan bahwa Sunda Wiwitan merupakan salah satu keragaman keyakinan yang ada di negeri ini dengan penganut utama orang-orang Sunda di Jawa Barat. Saat ini pemeluk Sunda Wiwiwtan mencapai 3000-an yang terutama berada di daerah Cigugur dan Kuningan. Sunda Wiwitan juga kerap dikenal dengan sebutan Madraisme. Nama ini dirujuk dari nama pendirinya yang bernama Kiai Madrais. Oleh pendirinya agama ini dinamakan Agama Jawa Sunda. Namun karena tekanan yang berat baik dari kalangan muslim maupun pemerintah, akhirnya kelompok agama ini menamakan dirinya sebagai Paguyuban Cara Karuhun Urang (PACKU), yang berarati Asosiasi Jalan Hidup Sunda.

Perilaku para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan cenderung lurus dan polos, namun memiliki tingkat kejujuran dan pemikiran yang tinggi. Seperti yang saya katakana di awal tadi bahwa para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan sangat peduli terhadap lingkungan. Mereka hanya mengambil dan mempergunakan sumber daya alam secukupnya. Bahkan setiap bulannya mereka mencanangkan penanaman pohon di tepian sungai dan di beberapa tempat demi terjaganya keseimbangan alam. Mereka tidak pernah mengotori ataupun mengeksploitasi lingkungan, tidak seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah dan para kapitalis negeri ini. Banyak terjadi eksploitasi besar-besaran, hutan-hutan ditebangi atas nama perluasan lahan yang semuanya dengan dalih kesejahteraan masyarakat dan pembangunan negeri. Akibatnya bencana alam dimana-mana, masyarakat kehilangan tempat tinggalnya, dan para petani terpaksa beralih pekerjaan karena tak punya lahan untuk digarap lagi.

Selain menghormati dan menjaga alam, penganut kepercayaan Sunda Wiwitan juga sering melakukan ritual-ritual khusus untuk menghormati alam. Hal ini sebagai wujud dari rasa syukur mereka terhadap alam yang telah memberi mereka kehidupan selama ini. Karena bagi mereka alam ibarat seorang ibu, yang harus dihormati dan dijaga dengan cinta kasih. Satu hal lagi yang membuat saya kagum dari mereka adalah mengajarkan cinta kasih pada sesama manusia dengan toleransi yang tinggi. Bagi mereka agama bukanlah hal yang dapat diperdebatkan. Karena setiap keberagaman itu harus dihormati bukan diseragamkan, apalagi dipaksa untuk sama. Sehingga dengan cara seperti itu diharapkan perpecahan antar umat beragama dapat dihindari. Hal yang paling penting bukanlah agama yang kita anut namun perilaku kita sebagai umat beragama yang baik yang harus juga kita jaga. Mari kita memanusiakan manusia dengan menghargai, meghormati, serta menjaga sesama dan alam sekitar kita demi terwujudnya lingkungan yang damai tanpa adanya perpecahan dan pertumpahan darah.

Oleh : M. Ainul Yaqin

Posting Komentar

0 Komentar