Membicarakan kehidupan, tentu bukan suatu hal yang dapat dilakukan hanya dengan satu sesapan kopi dan anggukan kepala tanda setuju. Begitu banyak kompleksitas di dalam kehidupan makhluk bernama manusia, selain kompleksitas yang ada pada diri manusia itu sendiri. Kompleksitas itu beragam wujudnya, salah satunya adalah jenis manusia yang dianggap menyimpang, nyeleneh, aneh, maupun berbagai label lainnya, yaitu transgender. What? Wait……Transgender??
Ya. Transgender. Satu kata yang tidak jarang membuat
seseorang mengernyitkan dahi, memberikan tatapan sinis, atau sekadar ekspresi
yang tidak dapat ditebak makna dibaliknya.
Seperti disinggung pada awal tulisan ini, membicarakan isu
mengenai transgender tidak dapat diselesaikan dengan secangkir kopi dan diskusi
sesaat.
Sebelum membicarakan isu ini lebih lanjut, coba kita
renungkan sebuah pertanyaan yang cukup mudah berikut.
“Apakah seorang laki-laki 'normal' maupun perempuan 'normal' pernah walaupun sekali dalam hidupnya, merencanakan atau meminta untuk terlahir
menjadi seorang laki-laki normal (bagi laki-laki) maupun menjadi perempuan
normal (bagi perempuan)?”
Jawabannya tentu saja TIDAK. Sebuah pertanyaan yang cukup
aneh dan nyeleneh untuk ditanyakan, dan tidak butuh waktu lebih dari satu detik
untuk menjawabnya. Namun, pertanyaan tersebut akan menjadi sebuah kontroversi
tersendiri ketika kemudian pertanyaan itu diubah:
“Apakah seorang individu transgender pernah walaupun
sekali dalam hidupnya, merencanakan atau meminta untuk terlahir menjadi seorang
transgender?”
Dari sebuah pertanyaan singkat di atas, kita tidak sedang
berbicara mengenai para laki-laki yang dianggap tulen ataupun perempuan yang
dianggap tulen yang menjadikan ‘transisi’ gender tersebut sebagai ladang
penghasil uang, maupun untuk commiting illicit acts, namun
lebih kepada individu yang memang terlahir “kurang beruntung”.
Yang sering orang awam pahami – yang tidak jarang pemahaman
tersebut keliru, adalah bahwa transgender adalah sebuah pilihan. Suatu
pemahaman yang kurang tepat, tetapi tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena
individu transgender tidak dapat selalu dijumpai dalam kehidupan pribadi
masing-masing, dan hanya dapat diketahui melalui media massa maupun kabar miring
berantai.
Tidak jarang pula transgender dimaknai sebagai tindakan
operasi penegasan kelamin, atau disamakan dengan perbuatan homoseksual. Ini
adalah hal yang perlu diluruskan, karena makna transgender itu sendiri
adalah individu yang memiliki IDENTITAS GENDER atau EKSPRESI
GENDER yang berbeda dengan sex biologis (alat kelaminnya) yang
ditentukan pada saat individu tersebut lahir.
Dari deskripsi di atas, yang menjadi penekanan dan penentu
apakah seseorang diidentifikasi sebagai individu transgender atau bukan adalah
identitas gendernya, yaitu bagaimana pikiran dan rasa seseorang menghayati
terhadap gendernya, yang pada tahap selanjutnya, dimanifestasikan dalam
ekspresi gendernya. Individu transgender, juga tidak selalu berarti seorang
homoseksual, karena identitas gender tidak berkaitan sama sekali dengan
orientasi seksual, yaitu ketertarikan individu terhadap jenis kelamin atau gender tertentu.
Itu berarti, seorang individu transgender bisa saja menjadi seorang homoseksual
(bagi transgender perempuan / male to female / transwoman / waria yang menyukai perempuan
dari segi sex biologis atau gendernya, atau bagi transgender laki-laki / female
to male / transman / priawan yang menyukai
laki-laki dari segi sex biologis atau gendernya), menjadi heteroseksual
(menyukai lawan jenisnya dari segi sex biologis atau gendernya), biseksual
(menyukai kedua sex biologis atau gender), panseksual, aseksual, dan
sebagainya.
Selain itu, makna transgender yang dikaitkan dengan operasi
penegasan jenis kelamin juga agaknya kurang tepat. Hal ini dikarenakan, tidak
semua individu transgender memandang operasi tersebut sebagai suatu hal yang
memang dia butuhkan, dan sebagian yang lain lebih memilih untuk fokus pada
ekspresi gendernya semata.
Transgender terlahir dengan latar belakang kondisi yang
berbeda-beda, sehingga rasanya kurang layak untuk langsung menghakimi tanpa
memahami kondisi mereka terlebih dahulu, terlebih melakukan generalisasi
bernada negatif.
Hingga saat ini, masih belum ditemukan penyebab pasti apa
yang menyebabkan seorang individu dapat terlahir sebagai seorang transgender.
Meskipun diyakini bahwa adanya masalah pada struktur otak, keseimbangan hormon,
gen, paparan hormon ketika masih berbentuk janin dalam kandungan, maupun pola
asuh yang dianggap salah, terlalu prematur rasanya untuk mengaminkan hal
tersebut secara universal. Mengapa demikian? Karena tidak menutup kemungkinan
terdapat faktor lain yang mungkin masih belum menunggu untuk ditemukan yang
berpengaruh dalam pembentukan diri individu transgender tersebut. Selain itu
pula, teori bahwa pola asuh yang salah menyebabkan seorang individu menjadi
transgender terpatahkan oleh fakta medis dari bayi kembar dari Amerika Serikat,
dimana salah satu dari bayi tersebut mengalami kecelakaan medis pada saat
sunat, sehingga penisnya terbakar seluruhnya, dan orang tuanya kala itu
memutuskan untuk mengubah anak mereka menjadi seorang anak perempuan – yang
pada perkembangannya, si anak sama sekali tidak menghayati peran gendernya
sebagai seoarang perempuan sebagaimana ditetapkan orang tua dan tim dokter atas
dirinya, walaupun dia diasuh sebagai seorang anak perempuan. Sebaliknya, si
anak selalu meyakini bahwa ada yang salah dengan dirinya, dan ketika dia
menginjak usia remaja, dalam sesi terapinya dengan psikolognya dia mengatakan
ingin menjadi seorang laki-laki.
Lantas, pernahkan terbersit suatu pikiran untuk mengetahui
apa yang sebenarnya dirasakan oleh para individu transgender tersebut?
Transgender adalah individu yang sangat rentan untuk
mengalami depresi. Depresi muncul karena adanya ketidaknyamanan atas dirinya.
Depresi tersebut dapat diperparah dengan kondisi lingkungan yang kurang dapat
menerima ekspresi gender yang ditunjukkan, maupun penghakiman yang dilakukan
atas ketidaktahuan, pengetahuan instan yang dipaksakan, maupun tindakan
kekerasan – baik lisan maupun perbuatan, dengan dalih agama.
Tidak jarang pula, individu transgender dihadapkan pada
persoalan relasi orang tua dan anak, dimana masyarakat awam mengatakan bahwa
individu transgender tersebut lebih mementingkan diri mereka sendiri.
Well, pada umumnya individu transgender sudah
merasakan ketidaknyamanan pada diri mereka sejak kecil. Pada beberapa
individu transgender, ketidaknyamana tersebut memunculkan konflik tersendiri di
dalam dirinya, suatu penyangkalan atas kenyataan bahwa individu tersebut
memiliki identitas gender yang berbeda, yang biasa dikenal dengan istilah denial. Namun,
walaupun seseorang individu dapat berbohong kepada orang lain mengenai
kondisinya, atau berpura-pura bahwa everything’s fine, individu
tersebut tidak akan pernah bisa melakukan satu hal yang mustahil untuk
dilakukan : berbohong pada dirinya sendiri.
Perasaan tidak nyaman maupun denial tersebut, seiring berjalannya waktu akan memiliki efek
gunung es, yang mana ketika pada suatu titik tertentu, individu tersebut tidak
dapat lagi menjaga kewarasannya untuk tetap dapat berakting bahwa dia baik-baik
saja.
Pilihan yang sering akhirnya dipilih oleh kebanyakan
individu transgender adalah dengan cara bertransisi secara medis, menjadi jenis
kelamin yang sesuai dengan identitas gender mereka.
Untuk beberapa transgender yang memang beruntung, baik dari
segi finansial maupun dari segi lingkungan, dapat dengan mudah melalui transisi
medis tersebut dan dapat memulai lembaran hidup baru dengan perasaan yang
sangat lega.
Akan tetapi, untuk sebagian individu transgender yang tidak
seberuntung itu, harus menghadapi konsekuensi yang tidak mudah. Ancaman diusir
dari rumah, sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal, sampai penghakiman
dengan dalil-dalil ayat suci seringkali dijumpai. Gosip tidak sedap dan fitnah
turut pula memperpanjang daftar rentetan persoalan-persoalan yang ada.
Mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, “lo enggak
kasihan sama nyokap bokap lo?” atau “lo egois banget sih jadi orang”. Tidak
jarang pula orang menggunakan hadits riwayat Bukhari no 5885, 6834 “Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wassalam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan
wanita yang menyerupai laki-laki”. Suatu pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu
dijawab, karena sebagai individu yang juga memiliki akal dan perasaan, tentunya
rasa kasihan terhadap kedua orang tua juga ada. Lho, kok?
Terlahir sebagai seorang transgender itu ibarat buah
simalakama. Kenapa demikian? Dikarenakan pilihan yang harus dia ambil, yang
mana apabila pilihan tersebut diberikan kepada orang lain, mereka pun pasti
tidak akan ada yang mau mengambilnya. Bagi sebagian individu transgender, efek
gunung es dari ketidaknyamanan atas kondisi yang berbeda bermuara menjadi
depresi yang selanjutnya mendorong seorang individu transgender untuk
mengakhiri hidupnya. Sisi positif dari tindakan bunuh diri tersebut adalah
mereka dapat menyelamatkan martabat keluarga mereka ditengah-tengah masyarakat,
serta dapat me-lock rapat-rapat rahasia bahwa mereka adalah
individu yang berbeda.
Di sisi lain, ketika individu transgender itu bertransisi
secara medis, penghakiman dan celaan bahwa mereka egois dan tidak sayang
terhadap orang tuanya karena dianggap lebih mementingkan diri mereka sendiri
seperti derasnya tetesan air di musim hujan, tanpa masyarakat sadari, bahwa itu
menjadi beban tersendiri bagi individu transgender tersebut, bahwa individu
transgender tersebut juga sama teriris hatinya ketika melihat raut sedih dari
orang tuanya, dan tidak jarang pula ikut meneteskan air mata.
Penghakiman dari segi agama juga tidak jarang dilakukan,
dengan semangat yang memburu dan ketergesa-gesaan dalam menggunakan hadits di
atas, tanpa menyadari bahwa yang dimaksud di dalam hadits di atas adalah bagi
para laki-laki dan perempuan yang memiliki gender yang sesuai dengan
sex biologisnya yang menyengaja menyerupai lawan jenisnya.
Sebaliknya, di tahun 2008, seorang Syeikh dari Kuwait, yaitu
Syeikh Rashid Sa’ad al Alaymi menyatakan bahwa “sexual reassignment
surgery should be allowed in cases where gender identity disorder is diagnosed.
His statement claimed ‘It was a mistake to accuse those with GID of imitating a
member of the opposite sex because they did not choose this of their own will
or because it gives them pleasure, but it is something that comes from God in
His infinite wisdom”. Operasi penegasan kelamin seharusnya
diperbolehkan dimana (seseorang) didiagnosa dengan Gender Identity
Disorder/GID. Dia menyatakan “itu merupakan suatu kesalahan ketika menuduh
orang-orang dengan GID bahwa mereka menyerupai lawan jenis karena mereka tidak
memlilih untuk mengalami GID, atau karena hal tersebut memberikan mereka
kepuasan (seperti ketika mengikuti hawa nafsu), tetapi itu (GID) adalah sesuatu
yang berasal dari Tuhan dengan ke-Maha Bijaksanaan-Nya.
Sebagai penutup, terlepas dari berbagai kontroversi yang
ada, perlu dipahami bahwa setiap orang memiliki persoalannya masing-masing.
Kita sebagai sesama insan manusia, alangkah baiknya apabila dapat bersikap dan
berbuat baik kepada siapapun, termasuk kepada para individu yang memang
terlahir sebagai transgender atau individu yang berbeda, dan mengambil hikmah
serta bersyukur karena diciptakan Allah tanpa mengalami kondisi yang demikian.
Apabila kita tidak bisa mengatakan hal-hal yang baik kepada mereka, alangkah
lebih utama kalau kita memilih diam daripada mengucapkan sumpah serapah maupun
menyebarkan kabar miring yang tidak jelas asal-usulnya, karena setiap kata-kata
yang keluar dari mulut seorang manusia ada perhitungannya dan balasannya di
hadapan Tuhan YME kelak.
Oleh: Ashalina Zaina
Editor: Miyano Retsu
2 Komentar
Nice
BalasHapusSangat baik
BalasHapus