sumber : https://i0.wp.com/justisia.com/wp-content/uploads/2017/11/Foto-1-696x418.jpg
Udara
yang begitu sejuk khas dataran tinggi menyapa reporter kami sesampai di Desa Candi Garon, Sabtu (11/11). Hijaunya ladang perkebunan di kanan-kiri jalan
menjadi pemandangan tersendiri bagi kami. Tampak pula dari kejauhan para petani
berbondong-bondong menggendong tas anyaman bambu di punggung mereka, menandakan
musim panen telah tiba. Di tambah kicauan burung kutilang dan suara kera-kera
liar mengisyaratkan bahwa daerah ini belum terjamah oleh industri.
Baru kami
menginjakkan kaki, hujan gerimis mengguyur. Kabut pun mengaburkan jarak
pandangan mata. Seolah-olah pagi itu awan hitam pekat menyulap Desa Candi Garon
Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang menjadi senja. Kami pun mampir ke rumah
Mugiyo salah satu warga (penganut) Sapta Dharma untuk bersilaturrahmi sekaligus
sekedar selonjoran kaki menghilangkan
kesemutan karena perjalanan jauh. Tak lama berselang Titarno dan Yoko yang juga
warga (penganut) Sapta Dharma turut menjumpai kami.
Ucapan
selamat datang mereka sematkan dengan menyuguhkan beberapa hidangan. “Kami
senang sekali ada orang yang berkunjung kesini. Disini masyarakatnya beragam
agamanya mas. Ya ada Islam, Budha, Kristen, Katolik bahkan kepercayaan Sapta
Dharma seperti saya ini”, ucap Titarno di sela-sela menyeduh tehnya.
Cara warga Desa memandang kami pun sangat ramah,
seolah-olah kami sudah menjadi penduduk asli daerah ini. “Orang-orang disini
baik-baik mas. Apalagi kalau ada tamu yang berkunjung. Kami sangat
memuliakannya. Karena dalam setiap ajaran mengajarkan bahwa ketika kita
memuliakan tamu, maka kita telah mengamalkan salah satu ajaran agama kita”, imbuh
Titarno.
Cara Mengekspresikan Agama
Tri Utami merupakan salah seorang warga yang bisa
dibilang teguh ajaran agamanya. Selain itu, sosok Tri adalah satu dari sekian
warga Desa Candi Garon yang mempunyai cara tersendiri dalam mengekspresikan
agamanya. Ibu berambut pendek ini pada tanggal 26 April lalu bagi-bagi uang
(sedekah) ke tujuh rumah ibadah yang berbeda agama dan kepercayaan di Desa ini.
Tri
sengaja membagi-bagikan uang ini sebelum melangsungkan akad nikah anaknya
bernama Ida Khoirunnisa yang akan melangsungkan pernikahannya dengan Otnial
Purniawan. Ia meyakini bahwa ketika berbuat baik dengan bersedekah, maka akan
dibalas dengan balasan berlipat ganda. “Kalau saya hanya mendatangkan tontonan
Orkes, mungkin ketika maeninggal Orkesnya saja yang dikenang masyarakat. Tapi
kalau saya bersedekah ke tempat-tempat ibadah, meskipun saya sudah meninggal
tapi masyarakat akan selalu mengenang amal budi saya. Toh, kita juga harus
nabung mulai dari sekrang untuk akhirat nanti”, tuturnya.
Alasan Tri
untuk bersedekah di rumah–rumah ibadah juga sangat menarik. Menurutnya, semua
agama itu baik, yang tidak baik adalah orangnya. Agama apapun akan menunjukkan
sebuah kebenaran bagi pemeluknya. “Jadi tujuan saya bersedekah ke rumah-rumah
ibadah itu untuk semangat kerukunan antar umat beragama mas”, pungkasnya.
Miniatur Indonesia Kecil
Warga Desa Candi Garon memang sangat beragam. “Di Desa
Candi ini penduduknya beragam. Ada yang memeluk Islam, Kristen, Budha, Katolik
dan Kepercayaan Sapta Dharma. Termasuk di Dusun Candi”, Tutur Kepala Dusun
Candi, Eko Sugianto saat ditemui di peternakan ayamnya.
Dusun
Candi sendiri terdapat 230 Kepala Keluarga (KK) dengan penduduk sekitar
berjumlah sekitar 350 orang. Warga yang
beragama Islam sekitar 100 KK lebih, penganut agama Budha sebanyak 60 KK,
penganut Kepercayaan Sapta Dharma sebanyak 35 KK, dan penganut agama Kristen
sebanyak 20 KK. Dalam Dusun Candi sendiri terdapat 4 Vhihara, 2 Gereja, 1
Masjid, dan 1 Sanggar.
Hal ini
sangat mencerminkan bahwa betapa beragamnya masyarakat Desa Candi Garon. “Agama
disini santai-santai saja, namun tidak mudah mewujudkan kerukunan di masyrakat
yang berbeda-beda latar agama dan kepercayaannya itu” imbuhnya. Baik dari
golongan tua ataupun muda, sangat terlihat jelas jalinan kekeluargaannya meskipun
meskipun berbeda agama ataupun kepercayaan. “Masyarakat disini meskipun
agamanya berbeda-beda tapi biasa gotong royong mas buat bangun rumah ibadah.
Tak jarang juga kadang saya sebagai warga (penganut) Kepercayaan Sapta Dharma
turut membantu menggali kubur buat pemakaman warga Islam” timpa Titarno.
Mengedepankan Maslahah
Sebagai seorang Kepala Dusun, bagi Eko Sugianto
tentunya tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengayomi masyarkatnya
yang plural. Eko harus pintar-pintar menempatkan posisi dirinya di
tengah-tengah masyrakat. “Kita (perangkat) harus bisa menempatkan diri. Sebagai
Kadus tidak boleh ngadus-I salah satu
golongan (agama) saja. Selama saya dapat undangan acara, saya tetap
menyempatkan untuk hadir”, ucapnya.
Tak jarang Eko mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
permasalahan warganya. Permasalah itu adalah adanya pengajuan izin untuk
mendirikan tempat ibadah baru. Dalam hal ini Eko harus berpikir dua kali untuk
memberikan izin, pasalnya dalam Dusun tersebut sudah terdapat rumah ibadah.
Seangkan dalam aturan pemerintah sendiri mengaskan bahwa tidak diperbolehkan
membangun dua rumah ibadah dalam satu tempat secara berdekatan dan minimal
mempunyai sekurangnya 90 jama’ah. Maka dalam maslah ini aparatur desa harus
turun tangan.
“Segala keputusan yang diambil semata-mata untuk menjaga
kerukunan warga. Meskipun bisa dikatakan kalau aparatur desa melangkahi aturan
pemerintah. Kebijakan ini dibuat dengan untuk memper-erat kerukunan antar
warga, agar tidak ada kecemburuan satu sama lainnya” pungkasnya sekaligus
mengakhiri tulisan ini.
Oleh : Ainul Yaqin
0 Komentar