Ticker

6/recent/ticker-posts

Bedah Buku Muslimah Reformis Luruskan pendapat Keliru Tentang Perempuan

 

Rabu, 9 September 2020, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Komunitas Satu Dalam Perbedaan (SADAP) dan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) Pontianak menyelenggarakan diskusi bedah buku Ensiklopedia Muslim Reformis yang ditulis oleh Prof. Musdah Mulia, yang juga sebagai pimpinan ICRP. Kegiatan yang dilakukan secara daring ini menghadirkan Subandri Simbolon, M.A (Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama katolik Negeri Pontianak) dan Aseanty Widya Ningsih Pahlevi (Jurnalis dan Aktivis Perempuan) sebagai narasumber dan Isa Oktaviani sebagai moderator.

Subandri Simbolon menjelaskan buku Muslimah Reformis dalam konteks “Common Words” atau “Kata-kata bersama” yaitu sebuah naskah fenomenal yang lahir sebagai respon terhadap pidato Paus Benediktur XVI di Jerman. Naskah tersebut ditandatangi oleh 38 ulama dari seluruh dunia diikuti 138 tokoh Islam dari bebagai mazhab. “Naskah Common Words berbicara tentang apa yang menyatukan, karena selama ini orang berbicara tentang apa yang membedakan.

Menurut Subandri, buku Musliman Reformis memiliki peran yang sama seperti naskah Common Words. Melihat isu yang diangkat dalam buku ini bukan hanya sebagai isu agama saja, tetapi juga isu sosial yang digerakkan oleh perdamaian lintas agama. “Jangan teman-teman melihat Muslimah Reformis ini buku Islam. No. Buku ini membuat saya berkaca. Apa yang sudah saya kerjakan berkaitan dengan isu-isu global. Isu-isu sosial. Perempuan, gender.”

Selain karena buku ini lengkap mebahas banyak isu, yang lebih penting adalah karena buku ini mengambil sudut pandang perempuan. Subandri mengatakan, hal dasar dan sangat penting yang ditekankan dalam buku ini adalah perempuan adalah manusia. Ini konsep dasar yang harus dipahami dalam memperjuangkan isu gender. Bukan sebagai gender kelas dua, tetapi sebagai manusia, sama seperti laki-laki.

Serupa dengan itu, Aseanty Pahlevi, mengatakan Muslimah Reformis sangat dekat dengan dengan kehidupan kesehariannya yaitu sebagai perempuan dan jurnalis.  “Buku ini bisa dijadikan pedoman dalam jurnalisme. Hal mendasar yang menarik, dikatakan agama seharusnnya bisa menjadikan kita mengenali hakekat diri. Lalu di bab 8, ada hak asasi perempuan.”

Aseanty menyoroti media yang sering pencitraan dan menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi. “Dalam advertising, perempuan dijadikan objek ekploitasi. Media juga memperkuat stigma yang ada di masyarakat. Bukannya meluruskan, malah stigma tersebut dituangkan dalam karya jurnalistik.” Menurut Kak Levi, setelah membaca buku ini, kita bisa membuat argumentasi baru terhadap berbagai stigma yang disematkan pada diri perempuan.  

Kak Levi berpesan, jika membaca buku yang tebalnya lebih dari 800 halaman ini, kita bisa mengakali satu persatu isu yang dibahas dengan membandingkannya dengan kehidupan sehari-hari. Karena memang bahasa yang dipakai dalam buku ini sangat ringan dan mudah dipahami.

Prof Musdah Mulia sendiri sangat mengapresiasi kegiatan ini apalagi karena diskusi kali ini menghadirkan pembicara yang relatif muda dan para peserta dari kalangan muda. “Dalam banyak forum, saya mengharapkan kalangan muda berbicara dalam isu-isu keagamaan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Ternyata mereka juga hebat, tidak kalah dari kalangan tua. Saya selalu ingin melihat, bagaimana mereka merespon. Kali ini di Pontianak, meskipun pesertanya dari seluruh Indonesia.

Buku ini disasar terutama pada pembaca perempuan. “Kenapa harus perempuan? Perubahan harus dimulai dari perempuan. Karena kalau perempuan tidak berubah, perubahan semaca apapun itu tidak banyak manfaatnya,” kata Musadah Mulia. Menurut dia, pada banyak kebudayaan, perempuan itu dianggap sebagai ibu. Ibulah yang membawa rahim dan proses kehidupan manusia. Kalau perempuan tidak cerdas, visioner, tidak banyak yang bisa kita harapkan. Musdah Mulia mencontontohkan Sarinah Sarinah, seorang perempuan yang mengasuh Bung Karno dan berperan penting dalam kehidupan Bung Karno,”

Prof. Musdah Mulia menyampaikan apresiasi pada dua organisasi dari kelompok muda yaitu SAKA dan SADAP. Dikatakan kelompok muda ini memberikan warna dalam pembangunan demokrasi di wilayah Kalimantan Barat. “Penting sekali masyarakat sipil bersinergi, tidak berjalan sendiri-sendiri. Karena kita capek menghadapi Indonesia ini dengan penduduk 270 juta penduduk. Kalau bekerja sendiri-sendiri kita kehabisan energi nanti. Sehingga isu-isu yang kita lakukan, seperti membangun dialog lintas iman, bisa disinergikan dengan kelompok-kelompok lain yang juga memiliki visi dan misi yang serupa. Apalagi setelah reformasi, tantangan yang kita hadapi semakin pelik.”

Penulis : Nings Lumbantoruan, Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) Pontianak

Posting Komentar

0 Komentar