Ditulis Oleh : Sultan (Alumni Tepelima Kalbar ke-3)
Pontianak - Perdebatan panjang tentang keberagaman gender di Indonesia rasanya bukan lagi hal yang jarang terjadi. Adanya silang pendapat dari berbagai kalangan yang tentunya dengan pegangan perspektif masing-masing membawa kita pada satu pertanyaan besar, seharusnya seperti apa kita memandang mereka yang diklaim berbeda dengan kita.
Sebelum lebih jauh membahas tentang pertanyaan tersebut,
mari kita bersama melihat fakta penting tentang jejak – jejak keberagaman
gender ini melalui literatur perspektif kebudayaan Indonesia. Mengutip melalui
beberapa literatur antropologi, keberagaman gender di Indonesia ini bukanlah
lagi hal tabu, sebab sejak dahulu orang – orang sudah mengklasifikasi gender
bukan hanya heteroseksualitas yang pada hari ini dianggap sebagai sebuah “kenormalan”
pada masyarakat kita. Di tanah Toraja, to burake tambolang menjadi
sebutan bagi gender ketiga yang kemudian punya kedudukan penting sebagai pemuka
– pemuka ritual adat keagamaan.
Bukan hanya Toraja, bahkan masyarakat Bugis mengenal lima
jenis gender selain oroane dan makkunrai yang merupakan sebutan
bagi lelaki dan perempuan, disana mengenal juga ada calabai sebutan bagi
mereka lelaki yang menyerupai perempuan, calalai untuk perempuan yang
serupa lelaki, serta bissu bagi pendeta androgini.
Atau jika kita berkunjung ke Ponorogo, kita jumpai sebuah
budaya yang menjadi content wilayah tersebut yaitu Reog Ponorogo yang
bila kita telisik lebih jauh ada dua karakter yang menjadi pemeran dalam
ceritanya yaitu Warok dan Gemblak. Seorang Warok harus
melewati ritual yang cukup ketat yang salah satu pantangannya adalah
dilarangnya berhubungan intim dengan perempuan sedangkan dengan lelaki boleh.
Nah fakta yang kita dapatkan terkait bagaimana budaya
Indonesia sudah tidak asing lagi dengan keberagaman gender ini, membuktikan
bahwa adanya gender diluar heteroseksualitas sebenarnya bukan produk dari barat
sebagaimana beberapa perspektif menyatakan hal tersebut. Mereka beralasan,
ketika kolonialis dan imperialis hidup dan menjajah tanah kita mereka membawa
serta kebiasaan – kebiasaan buruk mereka seperti korupsi dan istilah – istilah
keberagaman gender. Justru, jika menelisik lebih jauh kenyataannya perundang –
undangan Belanda di zaman itu melarang perbuatan homoseksualitas sebab bukan
umumnya terjadi dalam budaya mereka.
Perdebatan tentang keberagaman gender ini juga muncul
dengan orang – orang yang mengutip perspektif agama memandang realitas
tersebut. Sayangnya, kebanyakan dari mereka yang hidup dalam dalih perspektif
ini biasanya berlebihan menghakimi mereka yang dianggap “tidak normal” ini.
Kebiasaan untuk terlalu mudah menentukan jatah neraka-surga biasanya
menjatuhkan mental para penyintas keberagaman gender ini. Meskipun pada titik
tertentu, kita mesti menerima kebenaran dalam perspektifnya.
Menerima dalam hal ini pada dasarnya bukan untuk kemudian
menjadi legitimasi untuk menghakimi semaunya para penyitas keberagaman gender
ini dengan “dogma teologis” tersebut. Kemudian mengakhiri mereka sebagai
makhluk sosial yang juga harus diakui realitas jiwanya.
Maka mari kita kembali pada pertanyaan besar yang sempat
dimunculkan pada paragraf sebelumnya, tentang bagaimana sebenarnya kita
memandang mereka. Yang disebut mereka dalam hal ini adalah para penyintas
keberagaman gender diluar pengakuan masyarakat umumnya yang mengakui heteroseksualitas
sebagi satu – satunya realitas gender yang normal.
Apakah pada akhirnya kita harus meng-amini perspektif – perspektif yang justru membuat
mereka hidup dalam keterasingan, atau kemudian kita memilih untuk membangun
satu perspektif adil tentang mereka, yang kemudian juga menghargai hak – hak
mereka sebagai manusia sosial serta manusia yang memiliki hak – hak kebebasan
memilih jalan ?
Sekaligus mewakili pendapat pribadi penulis, bagi saya
yang kita sebut mereka ini adalah satu realitas yang harus kita akui. Sebab
jika melihat perspektif paling adil, orang – orang diluar gender
heteroseksualitas punya hak hidup, pun jika kemudian mereka dihakimi dengan
perspektif agama yang justru menawarkan jalan keluar surga-neraka, akan begitu
berdosanya kita jika sebagai manusia justru kita hadir sebagai “Tuhan Baru”
yang harus mengadili mereka.
Saya lebih memilih mengakui keberadaan mereka, dengan
satu catatan besar bahwa mereka juga harus mampu menyesuaikan diri dengan
kultur masyarakat dimana mereka hidup dan bersosialisasi, sehingga
perdebatan panjang yang jadi dialektika abadi pada publik tidak menghakimi
semua jaringan.
Oleh : Sultan Alam Gilang Kusuma – Peserta Tepelima Kalbar ke-3
0 Komentar