Ticker

6/recent/ticker-posts

Pemuda Lintas Iman di Kalbar Selenggarakan Workshop Narasi Damai di Media Sosial

 


Pontianak I Perkembangan teknologi memberi kemudahan untuk aktivitas sehari-hari, terutama media sosial yang membuat akses menjadi lebih cepat dan nyaman dalam terhubung satu sama lain meski berada ditempat yang berbeda.. Kemudahan yang ditawarkan kemjauan zaman ini menjadi pisau bermata dua, jika digunakan dengan baik maka akan memberi hasil yang baik pula. Tetapi sebaliknya, jika digunakan tidak tepat maka bisa berakibat fatal.

Hal inilah yang belakangan menjadi penyebab mencuatnya ujaran kebencian, hoax, bullying yang justru meramaikan unggahan di media sosial. Akibatnya, diskriminasi bahkan intoleransi marak terjadi. Apalagi, para pelaku didominasi oleh orang muda sebagai pengguna media sosial terbanyak di Indonesia.

Peristiwa ini terjadi karena rendahnya literasi digital bagi kita yang belum siap menghadapi kemajuan zaman sehingga dengan mudah menggunakan media sosial untuk mengekspresikan emosional yang dapat berpengaruh buruk terhadap diri sendiri dan juga orang lain.

Menghadapi masalah tersebut, alumni Temu Pemuda Lintas Iman (Tepelima) Kalbar ke-3 melakukan langkah konkret dalam rangka merangkul orang muda agar dapat membuat konten yang positif sehingga diharapkan mempu meminimalisir ujaran kebencian di media sosial. Kegiatan ini dilaksanakan di Pontianak pada Sabtu, (26/6/2021) dengan pemateri Nings Lumban Toruan (Partisipasi Kebijakan Publik Yayasan SAKA) dan Yeni Mada (Peneliti Balai Bahasa Kalimantan Barat).

Tepelima merupakan kegiatan yang diprakarsai oleh Sadap Indonesia, komunitas anak muda yang bergerak pada isu toleransi dan keberagaman khususnya suku dan agama. Kegiatan Tepelima atau Temu Pemuda Lintas Iman ini telah ada sejak tahun 2018 dan terus dilaksanakan setiap tahunnya.

Bentuk kesadaran akan tingginya kasus intoleransi menjadi salah satu alasan mengapa Tepelima hadir. Kegiatan ini menjadi ruang aman dan nyaman orang muda dalam membincang berbagai persoalan dan sekaligus menjadi tempat ngobrol guna menghapus stigma buruk khusunya perihal kesukuan dan agama.

Pada tahun 2021 ini, Tepelima diselenggarakan oleh Sadap Indonesia bersama dengan mitra lokal, diantaranya Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Gusdurian Pontianak, dan juga PMKRI Sungai Raya. Diikuti oleh 20 peserta dari ragam suku dan agama dengan usia 15-25 tahun.

Perwakilan panitia, Tauvan dalam kata sambutannya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam terlaksana workshop narasi damai tersebut. Sebagai bentuk tindak lanjut dari pelaksanaan Tepelima, Tauvan mengungkapkan bahwa kegiatan ini dimaksudkan guna membentuk kontra narasi dari tingginya konten negative di media sosial saat ini.

“Mengingat perkembangan teknologi terus membuat berkembangnya media sosial. Kini media sosial banyak digunakan untuk menyebarkan narasi non damai. Oleh karena itu perlu adanya kontra narasi dengan membuat narasi damai.Harapannya, nanti akan hadir banyak tercipta postingan-postingan damai,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa target dari kegaiatan workshop anak bagi orang-orang muda. Hal ini karena pemudalah yang mendominasi jagat maya.

“Kegiatan ini ditujukan kepada teman-teman muda yang mana kini mendominasi kehidupan terlebih dijagat maya. Oleh karenanya, harapannya melalui kegiatan ini dapat menjadi sarana yang baik dalam menciptakan narasi yang baik tentang perdamaian dan keberagaman dimedia kedepan,” tambahnya.

Nings yang memaparkan tentang kerangka berfikir keberagaman dalam pemaparan mengajak peserta untuk memberikan makna kebinekaan menurutnya masing-masing, jenis-jenis dari kebinekanaan dan juga bagaimana cara mengelola keberagaman.

Menurutnya, dalam berfikir tentang keberagaman dari proese identifikasi dan refeksi yang sebelumnya telah dilakukan  membuat kita bersama tahu bahwa kebutuhan masing-masing orang berbeda.

“Ragam identitas yang berada pada manusia akan membawa kepada kebutuhan yang berbeda antara satu orang dan yang lainnya,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan tentang konsep 3 RE dalam pluralisme kewarganegaraan. Menurutnya, jika 3 RE dilaksanakan dengan baik maka akan menciptakan ruang yang inklusif.

“Melihat kebinekaan dalam pancasila dapat dimulai dengan kesadaran, pengakuan, represenatasi, redistribusi dan akan mencapai ruang publik yang inklusif,” tambahnya.

Seiring dengan tingginya perilaku diskriminatif dan juga stigmatiasasi yang dilakukan oleh banyak orang tentu menjadi permasalahan tersendiri kini. Oleh karenanya menurut Nings perlu adanya pertemuan dan ruang ngobrol guna menguranginya.

“Memperbanyak ruang-ruang ngobrol adalah cara mudah dan juga efektif guna mengurangi stigma,” tambahnya lagi.

Sementara itu, Yeni Mada yang memaparkan tentang cergas dalam media sosial lebih menyorotu tentang permasalahan dalam penggunaan media saat ini.

Ia menunjukkan data per Januari 2021, dari 247,9 juta penduduk Indonesia terdapat 345,5 juta orang melakukan koneksi seluler yang mana 202,6 juta pengguna internet dan 170 juta pengguna media sosial. Sedangkan dalam persentase penggunaan waktu juga sangat variative. Ada yang dalam satu hari mencapai 8 jam 52 menit menggunakan internet disemua perangkat, 2 jam 50 menit dihabiskan menonton TV, 3 jam 14 menit menggunakan media sosial dan 1 jam 38 menit membaca daring maupun cetak.

Tingginya pengguna media sosial turut membuat tingkat kesopanan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Menurutnya pula hal ini tidak terlepas dari tiga faktor penyebab yaitu paling tinggi terkait hoaks, faktor ujaran kebencian dan juga faktor diskriminasi.

Selain melalui pemaparan materi dan juga tanya jawab, workshop juga dilanjutkan dengan praktik membuat narasi baik. Praktik dilakukan secara bersama-sama oleh 19 peserta yang hadir dalam worksop tersebut pula.

Melalui peltihan membuat workshop ini diharapkan kedepannya dapat menciptakan lebih banyak postingan-postingan baik di media sosial sehingga kehidupan yang inklusif, damai, saling menghargai satu sama lain dapat tercipta.

Penulis: Rio Pratama

Posting Komentar

0 Komentar