![]() |
Studi Banding Virtual Pemkot Pontianak ke Pemkot Salatiga |
Sadap Indonesia - Perbedaan kultural adalah hal yang lumrah dan konsekuensi dari masyarakat yang beragam seperti kota Pontianak. Perbedaan tersebut harus dikelola dengan cara-cara yang tepat atas Kerjasama pemerintah dan masyarakat kota Pontianak. Hal ini tercermin dalam pidato Edi Kamtono selaku Walikota Pontianak yang disampaikan oleh Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, Yaya Maulidia, S.H., M.H. dalam kegiatan studi banding Virtual antara pemerintah kota Pontianak dengan Kota Salatiga.
Pada kegiatan
yang dilakukan dengan cara hybrid dengan menggabungkan teknis daring dan luring
ini, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ketua Forum Persaudaraan
Bangsa Indonesia (FPBI) dan kepala kantor Perwakilan Kementerian Agama kota Salatiga
membagikan pengalaman kerja yang sudah dilakukan dan berkontribusi untuk
membangun kota Salatiga yang lebih toleran.
H. Taufiq Rahman selaku kepala kantor perwakilan kementerian agama Salatiga
menyadari keberagaman masyarakat Salatiga dan masih kentalnya unsur kultural. “Kota
Salatiga ditakdirkan oleh Tuhan sebagai Kota yang multiklutural dan kota kecil
yang beragam. Ciri Horizontal adalah adanya keberagaman suku, agama, dan
tradisi, sedangkan ciri veritkal adalah adanya
perbedaan ekonomi dan pandangan
politik, sehingga memberikan ciri
khusus di Kota Salatiga.” Ciri itulah yang mereka Kelola dalam program-program
kerja Kemenag kota Salatiga.
Kota
Salatiga memiliki rumah moderasi, yaitu rumah bersama yang menjadi tempat
berkumpul dan penyelesaian jika terjadi sebuah konflik antaragama. Kebijakan
Kementrian Agama menguatkan peran agama
dalam menciptakan perdamaian. Pada umumnya, Kota Salatiga yang masih kental
dengan unsur kebudayaan disebut
memerlukan peran agama dalam memberikan keseimbangan namun tidak bertubrukan
dengan nilai-nilai budaya.
Tak
hanya bicara perdamaian, di Salatiga, agama juga diupayakan dalam peningkatan
ekonomi dan melaksanakan penyuluhan agama dengan konteks budaya lokal. “Sebelum
melakukan penyuluhan, biasanya penyuluh
harus mengenali kulutur budaya lokal, dan setelah itu baru memberikan
penyuluhan sesuai dengan kebudayaan popular di suatu tempat, seperti penggunaan
pakaian ataupun yang lainnya,” tambah Taufiq.
Dalam
perjalanannya merawat toleransi, pemerintah Kota Salatiga bukan tidak pernah
mendapatkan permasalahan. Zainal
Arifin, Mahasiswa Studi Agama-Agama IAIN Pontianak yang ikut dalam kegiatan ini
menyampaikan rasa penasarannya bagaimana kota Salatiga menghadapi oknum-oknum
yang membawa isu sara mengotak-atik masyarakat di momen-momen politik seperti
Pilpres dan pilkada.
Menurut
Taufiq Rahman, Noor Rofiq dan Amin Siahaan, kolaborasi
antara FKUB, FPBI dan unsur masyarakat lainnya terus diperkuat. “Jika
terjadi permasalah isu SARA yang berkenaan dengan agama, maka kami akan
berkoordinasi dengan FKUB, jika isu suku maka kami akan berkoordinasi dengan
Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia,”
ucap Taufiq.
KH. Drs. Noor Rofiq selaku Ketua FKUB Kota Salatiga mengatakan
setiap tahunnya FKUB Salatiga belajar dan berkunjung ke setiap ke kota-kota
yang toleran. Hal ini menyebabkan Salatiga mendapatkan predikat kota toleran
versi Setara Institut setiap tahunnya. Juga penghargaan kepada Kota
Salatiga sebagai kota dengan Kurikulum
Belajar Kebhinnekaan terbaik pada tahun 2017 yang diberikan oleh Kementrian
Pendidikan Nasional.
“FKUB
Salatiga punya program untuk menciptakan kerukunan dimulai dari kecamatan, aktif
dalam kegiatan di ruang lingkup provinsi Jawa Tengah dan ikut serta dalam
kegiatan akhir tahun untuk kegiatan-kegiatan lintas iman. FKUB juga aktif
melakukan sosialisasi kebhinnekaan dan lintas iman di masyarakat, bahkan kegiatan upacara bhakti
sosial, kesehatan, dan tampil bersama-sama
Forum Persatuan Bangsa Indonesia,” tambah Noor Rofiq. Dalam
perjalanannya, kerja FKUB sepenuhnya mendapatkan dukungan dari Walikota.
Tidak
hanya mengurusi kerukunan agama, sejalan dengan itu, Amin Siahaan yang
merupakan Ketua Forum
Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) Kota Salatiga juga membagikan peran mereka
dalam melakukan mediasi antara kelompok yang berbeda dalam bidang etnis.
Pendekatan budaya dan kultural dalam membuka ruang-ruang perjumpaan kelompok
yang berbeda pun kerap dilakukan seperti Temu Akrab etnis yang
dilakukan setiap 2 tahun sekali, Gebyar Budaya Nusantara, seni budaya dan khas
suatu etnis, juga berkolaborasi dan memberi dukungan kepada Mahasiswa Baru
terhah Kirap Budaya, sehingga mewarnai lintas etnis di Salatiga.
Firdaus
Zarin, Wakil Ketua DPRD kota Pontianak mengapresiasi kerja Komitmen pemerintah
kota Salatiga untuk menjaga toleransi yang begitu sangat besar. Hal ini
ditunjukkan terkait kebijakan alokasi anggaran untuk FKUB, Kemenag dan FPBI
Kota Salatiga cukup besar. Disebutkan bahwa
Kota Salatiga setiap RW mendapatkan anggaran 50 juta untuk melakukan
program kebinekaan, sehingga menciptakan kondusifitas yang tinggi di Kota
Salatiga. Pemerintah juga sangat antusias
dalam mewujudkan 3W, Wasis, Waras, dan Warep. Yang artinya adalah
semakin tinggi pendidikannya maka akan semakin toleran, semakin tinggi
kesejaterhaannya maka menjadikan masyarakatnya menjaga kesejahteraannya. Juga
program lainnya mendapatkan perhatian dari Kemenag dan Walikota Salatiga.
Sri Wartati, ketua pengurus harian Suar Asa Khatulistiwa yang menginisiasi kegiatan ini bersama Jaringan Pontianak Bhineka mengatakan harapannya agar kota Pontianak bisa mengikuti jejak kota Salatiga, memperkuat institusi pemerintah kota Pontianak membuat kebijakan dan praktek yang mempromosikan keberagaman dan kebhinekaan, sesuai dengan tujuan diadakannya kegiatan ini.
0 Komentar