Pontianak - Apa
yang ada di pikiran Anda, jika diajak membayangkan hal-hal yang terjadi di
balik layar hingga hari-H pementasan drama siswa sekolah? Apakah terbayang para
siswa mesti menghafalkan naskah drama buatan guru?
Anda keliru jika mengira seperti itu.
Skenario drama “Toleransi Anak Cerlang” sepenuhnya dibuat oleh anak-anak kelas
3 dan 4 SD Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sekolah Alam Terpadu
Cerlang yang terletak di Jl Johar nomor 82 Pontianak.
Drama “Toleransi Anak Cerlang”
dipentaskan di Gaia Mall, Kubu Raya, pada Minggu (27/9/2021) sore.
Proses pementasan drama ini menerapkan
pendidikan yang berpusat pada anak, bukan berpusat pada guru. Anak-anak Cerlang
menggali ide dan merealisasikan ide tersebut.
Selama dua pekan, anak-anak berdiskusi
untuk membuat cerita, menulis dan mengedit skenario, menghafalkan dialog,
berakting, memilih dan membuat properti drama, hingga memilih lagu yang sesuai
pesan keberagaman dalam drama ini.
Ketika fasilitator menyampaikan info
tentang kesempatan manggung, anak-anak SD Cerlang berseru kegirangan.
Sebelumnya sejak pandemi, mereka sama sekali tak punya kesempatan manggung di
area publik. Padahal, biasanya disepanjang tahun mereka sering tampil di
berbagai acara internal dan eksternal sekolah.
Anak-anak sahut menyahut mengutarakan
ide tentang drama yang akan ditampilkan. Dari sekian banyak ide, akhirnya disepakati
tentang tema “Toleransi Anak Cerlang”. Drama ini bercerita tentang keberagaman di
Sekolah Cerlang. “Supaya orang-orang tahu kalo di Cerlang itu kita macam-macam.
Ceritanya kayak kita biasanya berkunjung di hari raya ke rumah teman,” kata
seorang anak.
Pengalaman saling berkunjung ke rumah
teman yang sedang memperingati hari raya keagamaan, menjadi sumber ide bagi anak-anak
Cerlang. Bersama-sama datang, makan, minum, dan mengucapkan selamat hari raya
kepada temannya yang berbeda agama, merupakan bagian dari adegan dalam drama
“Toleransi Anak Cerlang”.
Setelah menentukan ide, Kea, Maisya,
Nathan bersepakat masing-masing menulis skenario. Nantinya tiga babak tersebut
akan digabungkan. Sedangkan satu anak lainnya, Wildan, bertugas mengedit naskah
skenario.
Sebelum menuliskan cerita, anak-anak
mendata terlebih dahulu berapa orang siswa SD yang akan memainkan peran.
Ternyata ada 10 anak SD kelas 1 hingga kelas 4. Jalannya cerita dan karakter
tokoh mereka buat sesuai latar belakang masing-masing pemeran. Misalnya Nathan
yang merayakan Imlek, menuliskan babak cerita tentang teman-temannya yang
berkunjung ke rumahnya.
Dalam proses menyatukan tiga babak
drama, anak-anak belajar bagaimana mengkolaborasikan karya mereka. Penambahan
adegan sebagai peralihan per babak, menjadi pilihan mereka. Akhirnya ketiga
babak tersebut menjadi satu kesatuan.
Selanjutnya Wildan yang berperan sebagai
editor, mengecek dan memperbaiki penulisan naskah. Didapati beberapa kekeliruan
penulisan seperti tanda baca dan nama tokoh.
Tahap berikutnya adalah latihan dialog
para tokoh. Anak-anak mempraktikkan bagaimana cara membaca dengan intonasi,
supaya cerita drama tidak kaku. Masukan dari tiap anak tentang gaya pengucapan
dari dialog ke dialog, menjadi ajang bagi anak untuk melatih dirinya menyimak
ide teman-temannya demi menampilkan drama secara maksimal.
Proses persiapan drama dilanjutkan
dengan perekaman suara para tokoh. Pada tahap ini anak-anak berlatih kesabaran
dan fokus, karena berulang-ulang harus diulang lantaran kesalahan pengucapan
atau suara adik-adik TK yang sedang bermain turut masuk ke dalam rekaman.
Ketika latihan drama dilaksanakan,
rekaman dialog anak-anak akhirnya batal digunakan. Mereka merasa lebih nyaman
berekspresi tanpa harus mengekor dialog pada rekaman.
Anak-anak berencana menampilkan nyanyian
setelah drama. Satu anak berinisiatif agar mereka menyanyikan lagu “This is
Indonesia” karya Atta Halilintar yang biasa dia dengar. “Lagunya cocok dengan
drama. Ada kata-kata ‘Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu’,” kata
Kea. Dia bersemangat mencatat lirik lagu yang terbilang banyak. Meski sempat
kelelahan menulis, Kea pantang menyerah untuk menyelesaikan catatan lagu.
Teman-temannya juga terus berlatih di rumah untuk menghafalkan lirik dan tempo
lagu.
Inisiatif membuat persiapan detail
penampilan drama juga dilakukan Maisya. Di rumah, Maisya membuat mobil-mobilan
dari kertas kardus. Keesokan harinya Maisya membawa mobil-mobilan itu ke
sekolah. Teman-teman Maisya berinisiatif menempelkan plat nomor kendaraan. Maka
jadilah mobil-mobilan karya anak Cerlang sebagai properti drama. Mereka berseru
kegirangan melihat karyanya sudah siap untuk dipakai manggung.
Sikap mereka mencerminkan anak mampu
bersikap positif terhadap belajar, senang dan menikmati proses belajar, yakin
mampu mengatasi kesulitan belajar. Inilah sikap-sikap yang ditanamkan oleh Ki
Hajar Dewantara. (*)
Sumber: Dian Lestari, Ketua PKBM Cerlang
0 Komentar