Pontianak - Minimnya pertemuan dan perkenalan bersama para suster tidak ayal membuat
prasangka dapat terjadi. Prasangka yang ada tersebut sejatinya harus dijawab
agar kesalahpahaman dari hal yang awalnya hanya sekedar karena sesuatu yang
belum tahu menjadi jelas.
Sadap Indonesia dalam program live
sharing dari rumah menghadirkan Suster Laura SFIC dalam programnya.
Suster Laura dari Kongregasi SFIC, jika
dilihat sekilas baik suster SFIC dan suster dari kongregasi yang lain terlihat
sama. Namun, suster SFIC punya identitas yang melekat melalui sebuah kalung
yang dipakai yang menjadi cirinya yang didapatkan sebagai suster khusus SFIC.
Ia berasal dari Sanggau Kapuas dan kini
bertugas di Makasar. Ia sudah lama menjalani hidup sebagai religious khususnya
menjadi seorang suster SFIC yaitu sejak 2004 saat ia selesai menyelesaikan
pendidikannya dibangku SMA. Ia mengakui bahwa keluarga sangat mendukung
panggilannya sebagai suster dan hubungan baik terus terjaga hingga kini.
Awal ia tertatik menjadi seorang suster
bermula ketika melihat seorang suster itu sendiri yang mana suster tersebut
terlihat dan melalui pertemuan yang sudah lama terjadi. Terlebih saat ia berada
di asrama saat tengah menempuh pendidikan SMP dan SMA yang mana dibimbing oleh
para suster. Dari situ ketertarikan semakin terasah dan menimbulkan rasa
penasaran dan didorong oleh sifat dan sikap para suster yang membuatnya semakin
kagum.
“Melalui dan seiring berjalannya waktu,
melalui perjumpaan yang terus menerus. Setiap hari dibimbing, diajari dan
sebagainya yang membuatnya semakin teguh,” ungkapnya.
Ia menjadi suster dengan melewati
beberapa masa. Jenjang pertama disebut dengan Aspiran yang ia katakana sebagai
magang. Durasinya biasanya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Suster Laura
memulai masa Aspiran ini sejak lulus dari SMA, ia mendapatkan dispensasi karena
sudah terbiasa dengan dinamika kesusteran bahkan sejak SMP yang membuatnya
tentu tidak sulit dan tidak kaget.
Jenjang selanjutnya adalah masa Postulat
dengan durasi satu tahun, pada masa ini menjadi sebuah masa resmi dimana para
suster diterima dalam tahap menjalani formasi sebagai suster. Kemudian pada
tahun kedua adapula masa Nofisiat yang sudah menggunakan nama biara dan
menggunakan pakaian resmi suster setelah masa penjubahan. Masa Nofisiat ini
dijalani selama dua tahun dan menjadi masa yang cukup ketat dalam masa
penjalanan pendidikan.
Selanjutnya ada masa Yuniorat yang sudah
menggunakan pakaian yang sudah cukup berbeda. Pada masa ini sudah ada kalung
khusus yang digunakan. Setelah itu, diterimalah sebagai suster yunior resmi
sesuai dengan penempatan atau unit karya suster masing-masing.
“Dimasa formasi ada yang meninggalkan
masa pendidikan, bahkan saat sudah menjadi suster ada yang meninggalkannya. Itu
memang menjadi sebuah kebebasan, tidak ada satu ikatan yang mengharuskan
seseorang harus tetap jadi suster. Itu kebebasan dari yang pribadi sendiri,”
Setiap orang punya jalan hidup berbeda
yang membawa ia sampai pada dirinya saat ini. Saya sendiri karena dari sendiri
dan dukungan dari keluarga sehingga tidak ada halangan sama sekali. Tuhan
menunjukkan jalan yang terbaik dalam hidup sebagai religius, saya meyakini
bahwa panggilan ini murni panggilan dari Tuhan sehingga apa yang sudah
diberikan Tuhan tinggal dijalankan sebaik-baiknya.
Tidak ada istilah eksklusif dalam
menjadi seorang suster, justru ia harus bisa bergaul dengan masyarakat luas
bahkan lintas agama, budaya dan sebagainya. Sejauh ini lingkup karya kita
memang tidak banyak diluar seperti lintas agama, jika lintas budaya sudah
banyak dan memang kita masih hidup dilingkungan yang didominasi umat gereja
sendiri. Tapi tidak ada larangan dan ada peluang untuk berkegiatan diluar
Katolik.
Sebagai suster sangat terbuka tidak ada
yang ekslusif dalam diri para suster dan kami sangat membuka diri. Jangan takut
untuk berkenalan diri bersama kami para suster karena kita semua sama saja
Penulis: Rio Pratama
0 Komentar