Pontianak
I Pemahaman
dan kesadaran akan pentingnya toleransi, saling menerima satu sama lain dan
jauh dari perilaku intoleransi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi sesama makhluk
menjadi aspek penting dalam kehidupan saat ini. Hal ini dianggap penting
mengingat potensi dan kerawanan terjadinya konflik dalam berbagai sektor dapat
terjadi kapan saja dan dimana saja.
Di Kalimantan Barat, konflik dengan
latar belakang suku dan etnis menjadi sejarah kelam yang sudah sejak lama
terjadi. Walaupun durasi tahun terbilang lama, namun jejak dan dampak konflik
tersebut masih ada dan terus berkembang hingga saat ini dan berpotensi
melahirkan konflik baru dikemudian hari.
Seperti halnya terjadinya konflik yang
awalnya berada pada aspek suku dan etnis kemudian menjalar ke isu agama,
puncaknya terjadinya penyerangan dan penyerbuan masjid Ahmadiyah di Sintang
yang menjadi luka bersama bagi para pegiat isu kemanusiaan dimanapun berada.
Mengingat potensi konflik yang begitu
besar, berbagai cara dalam rangka menciptakan ruang-ruang pemahaman tentang
pentingnya toleransi dan kesetaraan tanpa persekusi dan diskriminasi haruslah
dilakukan dengan berbagai cara, satu diantaranya melalui pemanfaatan media
digital yang masif berkembang saat ini. Kampanye tersebut satu diantaranya
dilakukan oleh Komunitas Satu dalam Perbedaan (Sadap) Indonesia bersama dengan
Komunitas Bela Indonesia (KBI) yang menciptakan sebuah film pendek dengan judul
Keluarga Tak Sedarah.
Film
Pendek Keluarga Tak Sedarah
Film Pendek dengan judul Keluarga Tak
Sedarah bercerita tentang kehidupan seorang mahasiswa dan dua mahasiswi dari
daerah di Kalimantan Barat yang merantau ke Kota Pontianak untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi.
Mengingat biaya rumah sewa atau kontakan
yang terbilang mahal, mereka kemudian memutuskan untuk menyewa satu rumah
dengan sistem pembagian yang adil. Mereka tinggal dalam satu rumah sewa
tersebut dengan penuh perbedaan dari berbagai aspek yang tidak pernah mereka
temui dan fikirkan sebelumnya.
Satu orang adalah laki-laki muslim dan
bersuku Jawa, seorang lagi adalah perempuan Tionghoa dengan keturunan agama
Budha serta seorang lagi adalah perempuan Dayak dengan agama kepercayaan
Katolik.
Walaupun penuh perbedaan, mereka hidup
dalam satu rumah sewa dengan penuh damai. Segala hal diselesaikan dengan
musyawarah dan kebersamaan, termasuk dengan tidak saling mengusik satu sama
lain perihal agama atau kepercayaan satu sama lain.
Sikap dan nilai toleransi juga sangat
kentara terjadi, ketiganya saling mengingatkan satu sama lain saat waktu
beribadah tiba, tidak segan saling mengantar ke rumah ibadah dan
tindakan-tindakan lainnya yang saling mendukung satu sama lain.
Bertahun-tahun hidup bersama dan saling
mengenal membuat mereka saling memiliki satu sama lain, tidak ada sekat dan
pembatas walaupun satu sama lain berbeda. Hal inillah yang membuat ketiganya
bak keluarga, walaupun tidak sedarah.
Terbaik
Kedua Konten Video Toleransi FKUB Kalbar
Cerita tentang ketiga tokoh yang real dan apa adanya ini diabadikan
hingga tercipta sebuah film pendek yang kemudian mendapat predikat terbaik
kedua dalam lomba video dengan tema moderasi yang diselenggarakan oleh FKUB
Kalimantan Barat.
Dilansir dari media sosial Sadap
Indonesia menuliskan, dengan adanya film pendek tersebut diharapkan dapat
menjadi sarana edukasi dan renungan bersama bahwa perbedaan bukanlah penghalang
untuk dapat saling berbuat baik dan percaya satu sama lain. Hal ini perlu ada
demi terciptanya toleransi dan saling menerima agar dapat hidup damai hari ini
dan esok hari.
Penulis: Rio Pratama
0 Komentar