Ticker

6/recent/ticker-posts

Tantangan Penegakan HAM di Indonesia

sumber : http://cdn2.tstatic.net/surabaya/foto/bank/images/

Nayati yang merupakan adik kandung dari Suparman (pimpinan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Kec. Cikeusik, Kab. Pandeglang) adalah saksi hidup penyerangan ribuan warga ke rumah Suparman Februari 2011 lalu.

Penyerangan itu memakan 4 korban meninggal,  tiga di antaranya adalah saudara Nayati dan sisanya Jemaat Ahmadiyah asal Jakarta. Nayati dapat selamat setelah bersembunyi di rumah ayahnya yaitu Matori. Dan dari celah/kaca rumah yang hanya berjarak sekitar 10 meter itu lah ia melihat suaminya (Udin) yang dipukuli dan disabet celurit. Ia juga melihat jemaat lain yang ditimpuk dengan batu meski telah terkapar di tanah, ada pula yang ditombak karna berusaha lari lewat sawah (jpnn.com/9/2/2011).

Tindakan diskriminatif dan intoleran terhadap JAI memang telah terjadi berulang kali. Bahkan beberapa waktu lalu pada bulan Juni 2017 JAI daerah Depok Jawa Barat menjadi korban persekusi oleh Pemkot Depok dengan alasan meresahkan warga sekitar. Perlakuan itu dilakukan dengan menyegel masjid yang JAI gunakan untuk beribadah, penyegelan untuk yang ke tujuh kalinya. Perbedaan keyakinan dan anggapan sesat kepada JAI menjadikannya sasaran empuk sebagai korban atau objek dari tindakan kekerasan ataupun kesewenang-wenangan bahkan dari sesama muslim itu sendiri.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau pengikut aliran Ahmadiyah masih menganggap dirinya bagian dari islam. Hal ini dikarenakan mereka masih melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang islam pada umumnya. Meski terdapat perbedaan di satu sisinya, secara garis besar mereka adalah cabang yang berpusat dari Islam. Namun hal berbeda dipikirkan oleh sebagian orang islam diluar JAI. Orang-orang ini menganggap JAI salah dan sesat sehingga perlu untuk “dihapuskan”, baik itu dengan tindakan kekerasan ataupun yang lainnya. Dan pemikiran semacam inilah yang membuat tindakan tidak adil terhadap Jemaat Ahmadiyah kerap terjadi.

Pemikiran yang kurang dewasa serta terlalu percayanya orang terhadap suatu kubu memang memberikan pengaruh pada kehidupan. Masalahnya adalah faham mengenai adanya suatu kubu yang benar absolut dan salah tak terbenarkan membuat hal ini timpang. Bagaimana tidak, jika seseorang telah percaya dengan teguh terhadap suatu orang atau kubu, maka kebenaran yang semula berupa sudut pandang akan dapat bernilai mutlak. Hal ini terjadi akibat perkataan atau pun informasi yang didapatkan dari kubu/orang tersebut akan selalu ia anggap sebagai satu-satunya informasi yang benar dan dapat dijadikan pegangan bagi kehidupannya.

Bukan berarti menyalahkan tentang berkubu atau pun mempercayai suatu pihak dengan teguh namun alangkah bijaknya bila pemikiran lebih terbuka.
Senada dengan kasus mengenai JAI ataupun kasus mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tindakan pelanggaran itu terjadi umumnya dilakukan oleh orang-orang ekstrimis atau orang yang terprovokasi sehingga ikut serta menjadi “bala tentara” yang melakukan tindakan sebelah pihak. Dua golongan ini memiliki kesamaan yaitu hanya memiliki satu sudut pandang kebenaran.

Orang-orang ekstrimis yang umumnya menjadi provokator adalah orang yang mempunyai versi kebenaran yang didapat dari kelompoknya sendiri. Sedangkan pada orang yang terprovokasi umumnya adalah orang-orang yang tak mau berpikir lebih dalam tentang isu atau permasalahan yang sedang terjadi. Orang-orang ini langsung menerima informasi tanpa menyelidiki lebih lanjut tentang validitas info yang ia dapatkan. Sehingga dengan pemahaman yang tidak seimbang tersebut mengakibatkan timbulnya perasaan untuk memperjuangkan kebenaran versinya diri sendiri atau dari oknum yang memberikan info kepadanya.

Perlunya belajar membaca dan mendengar

Parahnya, mayoritas masyarakat Indonesia adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rendah, akses informasi yang hanya terpusat itu-itu saja yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir manusia itu sendiri. Ditambah besarnya keberagaman dan kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia membuatnya rentan terhadap setiap info yang mengandung sara atau pelecehan terhadap kaum lain. Bukan berarti menilai keberagaman adalah hal yang buruk, namun setiap hal termasuk keberagaman juga memiliki sisi baik dan sisi buruknya, seimbang.

Contohnya saja, aksi bela ulama yang dilakukan di Kota Pontianak pada 20 Mei 2017 lalu. Aksi itu dilakukan setelah beredarnya video yang isinya adalah pidato Gubernur Kalbar (Cornelis) untuk mengusir Habib Rizieq Shihab (HRS) dari bumi khatulistiwa. Orang-orang dari kubu yang berlawanan dengan cepat terkumpul untuk melakukan aksi pawai dalam massa besar sehingga menimbulkan kekhawatiran di benak masyarakat sekitar. Hal ini karena aksi tersebut bertepatan dengan Pawai Gawai Dayak yang dilangsungkan di Kota Pontianak dengan rute yang hampir sama.

Massa tersebut terkumpul dengan cepat akibat adanya kubu yang mengatasnamakan agama sebagai dasarnya, ditambah hanya mengetahui satu pihak kebenaran tanpa berpikir minimal dengan pertanyaan seperti, “apa yang telah dilakukan HRS sehingga menimbulkan kemarahan dari Gubernur Kalbar dan menginstruksikan hal tersebut dalam pidatonya?”. Hal semacam ini yang tidak dilakukan oleh para pendemo, yaitu mengoreksi info lanjut dan mencari info yang lengkap sehingga keseimbangan berfikir hadir di dalamnya.

Untuk mengurangi potensi perpecahan yang berbentuk pelanggaran HAM di Indonesia umumnya masyarakat Indonesia harus berpikir lebih dalam dan kembali belajar membaca dan mendengar. Hal ini dikarenakan membaca dan mendengar adalah kegiatan mengumpulkan dan mendapatkan informasi terhadap suatu hal yang kemudian dijadikan pedoman baginya untuk bertindak. Info atau berita yang didapatkan haruslah tuntas, artinya berita yang didapat juga harus seimbang dengan tidak menghilangkan validitas isi berita. Belajar membaca dan mendengar bisa dengan cross check info yang didapat serta tidak hanya berpedoman pada suatu kubu yang tidak bisa dipegang independensinya.

Hal-hal ini diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang lebih aman dan tentram. Dan keberagaman yang dimiliki Indonesia tidak hanya menjadi faktor pelanggaran HAM dilakukan, namun juga menjadi kekuatan besar yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia selain Indonesia.

Oleh : Adi Rahmad
Universitas Tanjungpura

Posting Komentar

1 Komentar