![]() |
Ilustrasi : Dedek Indah |
PONTIANAK - Kekerasan seakan menjadi atribut yang melekat di pundak orang Madura. Berkembang stigma bahwa orang Madura berperangai kasar, juga cenderung menggunakan senjata sebagai pilihan saat menyelesaikan masalah. Sehingga ada orangtua yang melarang anaknya menikah dengan orang Madura.
Inilah yang dilakukan oleh Dodo (nama
samaran), 53 tahun, yang beretnis Melayu pada ketiga anaknya. Sejak mengalami
langsung konflik antar-etnis Madura, Dayak dan Melayu pada 1999 lalu, Dodo
selalu beranggapan bahwa etnis Madura suka bertindak kasar dan menggunakan
senjata tajam untuk menakut-nakuti.
Ketidaknyamanannya dengan etnis Madura
semakin terasa ketika keponakannya yang menikah dengan orang Madura mengalami kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT). Ia semakin kencang melarang anak-anaknya untuk menikah
dengan pasangan beretnis Madura.
“Kau mau keh kayak kakak sepupu
kau, dikasarin sama
suaminya? Kalau kau mau kayak gitu, tak apa. Kalau ada
apa-apa usah nak cari ayah ya!” Dodo menirukan perkataannya pada
anaknya saat ditemui pada Kamis (11/3/2021).
Cerita lainnya datang dari Uli (bukan nama
sebenarnya)
yang juga mengalami KDRT dari almarhum suaminya. almarhum suaminya sering
melakukan kekerasan padanya. Kekerasan yang dialami oleh Uli menyisakan trauma
pada dirinya hingga kini. Etnis suaminya yang kebetulan adalah Madura membuat
Uli enggan berbaur dengan etnis Madura lain.
“Dulu suami kakak tadak kayak gitu (tidak
seperti itu). Cuman dulu dia suka
kumpul sama kawan-kawannya, mulai dari situ lah dia suka mukul kakak. Setiap die balek mabok dan kalah main judi, sasarannya
pasti kakak yang kenak pukul,” cerita
Uli pada Jumat (2/3/2021).
KDRT Tidak Ada Kaitannya dengan Etnis
Prasangka dan stigma
orang Madura kasar lalu
melakukan KDRT adalah sesuatu yang ingin ditepis oleh Toto (nama samaran). Bagaimanapun saat memutuskan menikah
dengan istrinya yang beretnis Melayu pada 2004 ia juga sempat mengalami
keraguan dari keluarga Sa’diyah, istrinya.
Menurut Sa’diyah masyarakat memiliki
kecenderungan mengaitkan perilaku seseorang dengan etnis tertentu. Juga
terbiasa menyamaratakan bahwa seluruh etnis Madura memiliki karakter kasar dan
melakukan KDRT. Padahal bagi Sa’diyah hal tersebut harusnya tidak dilakukan.
Saat awal menikah keluarganya juga
mencibir keputusannya untuk menikah. Tapi Sa’diyah percaya pada Toto dan
keputusannya. Kini keluarganya sudah menerima Toto.
“Keluarga nanya kenapa kau mau nikah
sama orang dia tuh. Orangnya keras,
etnis itu tuh suka mukul. Tapi dalam
diri saya bilang, saya yang jalankan. Sudah cukup mengenal suami saya, dan saya
yang tau sifat suami saya pada saat
itu. Jadi saya bismillah yak. Alhamdulillah sampai sekarang suami saya
tidak pernah pula kayak apa yang
dianggap keluarga saya,” ujar istri Toto.
Menurut Sa’diyah intonasi bicara etnis
Madura yang pada umumnya terdengar tinggi membuat masyarakat cenderung
menyimpulkan bahwa mereka kasar. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah
kebiasaan dan budaya yang berbeda saja. Justru bagi Sa’diyah, bahasa dan logat
bicara Sa’diyah justru lebih berintonasi tinggi.
“Kadang awal-awal
nikah, saya kira suka marah karena suka keluar bahasa saya yang nggak dia
ngerti, dan dia menyimpulkan itu dari nada saya berbicara. Ya itu tadi, miskomunikasi
bahasa yang berbeda,” ucapnya.
Pemikiran orang Madura akan melakukan
KDRT dalam pernikahan bagi Sa’diyah adalah pemikiran yang keliru. Tidak tepat
stigma dan stereotip negatif tersebut disematkan pada etnis tertentu. Karena
menurutnya semua orang berpotensi menjadi pelaku ataupun korban KDRT apapun
etnisnya.
“Dalam kita berumah tangga nih pasti ada lah masalah kecil. Menyatukan dua kepala untuk jadi satu juga tidak
mudah. Tapi untuk KDRT, mungkin orang salah pengertian (tentang stigma),” tuturnya.
Amalia Irfany
Dachlan, dosen Bimbingan Konseling Islam di IAIN Pontianak, juga menyatakan hal
serupa. Dia tidak setuju apabila masyarakat menstigma orang Madura sebagai
pelaku KDRT. “Stigma yang muncul terutama stigma etnis Madura kasar. Padahal
tidak semua orang Madura kasar. Ada juga yang baik, lemah lembut. Stigma Melayu
malas, ya ada juga yang gigih dalam bekerja. Jadi kita tidak bisa melihat hanya
dari sekilas cerita yang tidak selesai saja,” ujar Amalia.
Dia berpendapat
ada beberapa faktor penyebab KDRT. Antara lain miskomunikasi antara suami
istri, masalah ekonomi, pengaruh media, dan keagamaan. Menurutnya di keluarga sangat
perlu ditingkatkan pemahaman ajaran agama dan pendidikan tentang cinta kasih,
agar tidak terjadi miskomunikasi dan tidak membenarkan stigma.
Tak Ingin Pendam Dendam
Sukma, perempuan paruh baya asal Sambas yang
kini bermukim di Kampung Tenun Pontianak tak ingin menyimpan trauma dan dendam
atas konflik di masa lalu. Sebagai orang Madura korban konflik antaretnis, dia
menganggap hal terpenting adalah mengambil hikmah dari kejadian masa lalu. Termasuk tak melarang anaknya yang
menikah dengan Melayu Sambas.
“Karena mereka
saling cinta. Saya tidak masalah. Orangtua menantu saya pun tak masalah,”
katanya.
Saat konflik pecah Sukma terpaksa
meninggalkan rumah dan menyelamatkan ketujuh anaknya yang
masih kecil
sendirian, karena sang suami telah meninggal dunia sebelum pecah
konflik.
Mereka lari ke hutan. Berenang mendorong sampan berisi anak-anaknya menuju
tempat yang lebih aman.
Berbekal uang yang ada Sukma membeli
sebidang tanah di Gang Sambas, yang kini menjadi Kampung Tenun. Menata hidup baru
bersama anak-anaknya di sana.
Keinginan menghapus
kecewa dan marah akibat konflik pada masa lalu, turut diutarakan Dhea (nama
samaran). Dia merupakan warga Melayu Sambas yang bersuamikan orang Madura.
“Gimane
la ye nak nyalahkan (bagaimana
bisa saya menyalahkan) etnis yang bertikai. Suami saya etnis Madura, tapi dia ndak kasar dan bukan dia pelakunya yang
buat onar,” ucap Dhea dengan nada bergetar, saat ditemui di ruang tamu
rumahnya.
Akibat konflik
pada tahun 1999, Dhea dan suaminya
terpaksa angkat kaki dari tanah kelahiran. Rumah mereka hangus terbakar. Meski begitu Dhea tak ingin memendam kemarahan
terhadap etnis tertentu. Dia tidak mempermasalahkan anak-anaknya menikah dengan
orang dari etnis apapun.
May terlahir dari keluarga Melayu.
Keluarganya pun terdampak konflik pada tahun 1999 tersebut,
menceritakan bahwa saudaranya ada yang menikah dengan orang Madura.
“Untuk di dekat
rumah kamek (saya) sendiri sih ndak dendam gitu. Lagi pun di sana masih ada
orang yang nikah sama etnis Madura. Termasuk kakak sepupu sendiri ada
yang nikah sama etnis Madura juga, dan tinggal satu kampong (Sambas) dengan kamek gak (saya juga)” kata May, Senin
(15/3/2021).
Pada saat konflik tahun 1999, May masih berusia dua tahun. Ketika dia beranjak dewasa, orangtuanya menceritakan bahwa dulu mereka terpaksa mengungsi sementara. Jadi menurutnya tak hanya warga Madura yang terimbas konflik dan harus mengungsi, tetapi juga warga Melayu seperti keluarganya.
![]() |
Abdul Hamid, penulis buku “Khazanah Budaya Madura Kalimantan Barat” - Teks FT/// Dedek Indah |
Warisan Stigma Sejak Zaman Kolonial
Abdul Hamid, penulis buku Khazanah Budaya Madura Kalimantan Barat mengurai asal
muasal berkembangnya stigma bahwa orang Madura kasar. “Yang menjadi
faktor penyebab mengapa ada stigma etnis Madura kasar, yang pertama
yaitu faktor penindasan yang telah disinggung dalam buku Huub De Jonge dari
Belanda. Kedua, yaitu munculnya media-media yang
berunsur mempertebal stigma negatif orang Madura kasar pada saat itu (masa penjajahan
Belanda),“ paparnya, Sabtu (20/3/2021).
Pria yang biasa
disapa Memet tersebut menuturkan, orang Madura terkenal dengan carok atau berkelahi dengan menggunakan
celurit. Padahal senjata utama etnis Madura adalah keris dan tombak. Menurut dia, Huub De Jonge menuliskan bahwa carok merupakan bentuk
perlawanan etnis Madura terhadap penjajah Belanda.
Memet menyatakan jika
dilihat dari sejarah sosiologis, berkembang stigma
bahwa orang Madura seperti kasar. Padahal menurut
dia pada dasarnya
hanya terkesan orang Madura ketika berbicara intonasinya tinggi.
Teman Memet pernah
bercerita tentang kesalahpahaman dengan orang Madura. Saat teman Memet pergi ke pasarm tiba-tiba dipanggil
seseorang dengan nada marah-marah. “Dia bercerita, Met, tadi tuh ada bapak-bapak kayak marah-marah, tapi dia nggak marah. Dia cuma manggil
saya,” ucapnya.
Memet mengajak antar-masyarakat saling mengikis sedikit demi sedikit stigma tentang orang Madura dan stigma lainnya. Upaya yang dilakukan antara lain mengedepankan perdamaian, saling berdiskusi, saling menjalin komunikasi dengan baik antar-etnis yang beragam, dan menggunakan media sosial dengan bijak agar tidak muncul salah paham.
![]() |
Agus Yuliono, dosen antropologi di Universitas Tanjungpura Pontianak - Teks FT//Dedek Indah |
Bahaya Stigma Mengarah Kekerasan Fisik
Agus Yuliono, dosen
antropologi di Universitas Tanjungpura Pontianak, mengingatkan
bahaya stigma bisa mengarah kepada tindak kekerasan secara fisik. “Saya menganggap
bahwa stigma adalah kekerasan yang sangat awal sekali. Sebelumnya kita
beranggapan bahwa kekerasan itu berupa kekerasan fisik, psikis, dan sebagainya.
Nah, stigma itu lah kekerasan berbentuk verbal yang sangat awal sekali, dan
termasuk kekerasan psikis yang bisa berlanjut kepada kekerasan fisik,”
paparnya.
Agus berpendapat
bahwa stigma muncul karena ada hambatan komunikasi. Orang mudah
percaya stigma, apabila tidak lengkap informasi yang didapatnya tentang orang
dan kelompok lain. Stigma seringkali muncul dari pernyataan orang lain, bukan
dari pengalaman diri sendiri. Stigma mengakibatkan seseorang menjadi bias
penilaian terhadap orang lain. Sehingga menimbulkan pemikiran dan tindakan
diskriminatif.
Lingkungan sekitar
dinilai Agus merupakan aktor-aktor yang menanamkan stigma. “Stigma itu muncul
sudah lama. Stigma direproduksi dan disosialiasikan oleh orang-orang sekitar.
Apabila kita tidak tahu kebenarannya seperti apa, maka stigma itu muncul,”
paparnya.
Menurut dia,
stigma bukan sekadar bahasa yang diucapkan, melainkan juga masuk ke dalam
pikiran. Sehingga secara tidak sadar misalnya kita merasa takut berinteraksi
dengan orang Madura, karena berkembang stigma bahwa orang Madura kasar.
Agus menyatakan,
tidak adil jika masyarakat menumbuhkan dan melanggengkan stigma pada satu etnis
tertentu. “Ketika kita lahir di etnis Madura yang dilabeli kasar, misalnya,
kemudian kena label. Itu kan nggak fair,” ujar dia.
Selain itu Agus berpendapat
bahwa stigma muncul berdasarkan kebutuhan memunculkan “kambing hitam”. Ketika
orang-orang marah atau terjadi frustrasi sosial, seringkali kelompok dominan
mencari sasaran kaum yang lemah. “Seperti di Kalbar ini, etnis Madura kaum
minoritas. Konteksnya yang muncul dan dominan adalah narasi-narasi kekerasannya,
terutama atas nama etnis. Dalam media sosial, Madura sering dikaitkan-kaitkan dengan
kekerasan. Sehingga dapat mempertebal stigma yang berkembang.”
Bagaimana cara melawan
stigma? Agus menuturkan bahwa kuncinya adalah bagaimana setiap orang menjawab tantangan
untuk tidak melanggengkan stigma, dengan memakai sudut pandang empati sesama. “Yuk
bersama-sama kita membahas kita, yuk. Bukan kami. Kalau kami itu kan artinya kelompokku. Kalau kita artinya
aku, kamu, kita semua. Itu yang paling penting,” katanya.
Agus menyarankan
demi membangun pemahaman bersama di masyarakat, hendaknya diciptakan ruang
perjumpaan yang diselenggarakan melalui kegiatan-kegiatan kreatif multikultural.
Masyarakat bisa membangun forum bersama, bukan hanya forum di tingkat tokoh
masyarakat.
“Jika ada kegiatan
bersama, yang awalnya kita bertemu kan
awalnya toleransi. Hal yang simple
sebenarnya ya kita saling sapa, dan di forum yang sama kita bisa saling
mengenal,” pungkas Agus. (*)
Editor : Dian Lestari
***
Liputan ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang didukung oleh USAID MEDIA, Internews dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
0 Komentar